Tak
terasa hari libur yang dinanti-nanti tiba, di penghujung bulan Juli tepatnya
pada tanggal 25 Juli 2014 kami memutuskan untuk mengisi liburan dengan mendaki
salah satu gunung berapi yang masih aktif di dataraan tinggi Karo. Dua malam di puncak sibayak menjadi pengalaman yang tidak mudah untuk di lupakan. saat kabut pagi menyapa, gemuruh kawah gunung yang membangunkan saat malam, embun pagi yang menutupi hutan dan bergeraak pelan saat sang fajar menunjukkan diri di upuk timur sebari menyapa kami, menjadikan pendakian ke gunung sibayak ini menjadi lengkap dan terbayar lunas.
Keberangkatan
kami mulai dari kota Medan, setelah dari semalam sibuk mempersiapkan segala keperluan
untuk mendaki kami mulai mengecek kembali satu-persatu perelatan dan kebutuhan
yang akan kami bawa. Rencananya kami akan menghabiskan waktu selama tiga hari dua
malam di puncak Sibayak.
Siang itu sekitar pukul 12.00Wib. Matahari tampak lebih cerah dari hari-hari sebelumnya di Kota Medan, sinar matahari yang menyengat kulit dan embusan udara siang yang sedikit panas mengawali langkah kami. Perjalan kami hari itu dengan menggunakan sepeda motor agar lebih peraktis dan bisa menikmati perjalanan dengan santai.
Memasuki daerah Pancurbatu lalu-lintas tampak longgar tidak seperti hari-hari biasanya yang macat karna aktifitas Pasar yang memakan badan jalan dan kendaraan yang lewat biasanya didominasi oleh mobil-mobil teruk sehingga petugas dinas perhubungan dan polisi disana kewalahan mengatur lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan panjang.
Setelah satu jam perjalanaan, memasuki daerah tekongan amoy perut kami mulai dikocok-kocok dengan tikungan amoy yang saling berdekatan, tetapi kami sangat menikmatinya. Memasuki daerah ini udara yang segar dan pemandangan hutan yang indah dan asri menyambut kedatangan kami, bukit barisan yang tersusun saliang sambung menyambung dan keindahan hutan yang masih asri terhampar sejauh mata memandang.
Pendakian
kami kali ini dari desa jaranguda atau biasanya disebut dengan jalur wisata.
Sebenarnya untuk mencapi puncak sibayak ada tiga jalur pendakian yang bisa
digunakan yaitu Rute pertama bisa dilalui dari kaki Gunung Sibayak di Desa Raja
Berneh atau sering disebut sebagai Desa Semangat Gunung. Desa ini berjarak 15
km dari Berastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas sidebuk-debuk di kaki
gunung sibayak. Di desa ini juga terdapat Badan Usaha Milik Negara yaitu P.T.
Pertamina yang memanfaatkan sumber panas bumi yang keluar dari gunung siabayak
untuk menjadi pembangkit listerik. Pembangkit listrik ini merupakan PLTP
pertama yang ada di pulau Sumater.
Jalur
kedua dapat ditempuh dari kaki Gunung Sibayak dari Desa Jaranguda. Desa ini
sangat dekat dari kota Berastagi yakni hanya berjarak 3 km. Bagi pendaki atau
wisatawan lebih banyak memilih jalur ini. Rute ini biasanya disebut juga dengan
jalur Wisata.
Jalur
ketiga yang terkenal cukup ekstrim adalah jalur 54 yang ditempuh dari kawasan
Penatapan atau bakaran jagung yang terletak di jalan raya Medan-Berastagi.
Jalur ini berada di KM 54 dari Medan menuju Berastagi. Jalur ini merupakan rute
terpanjang dan tergolong ekstrim karna melewati hutan teropis dan tebing-tebing
curam. Bagi pemula tidak disarankan untuk mendaki lewat jalur ini.
Setelah
membayar retribusi sebesar Rp 4.000/orang dan mengisi buku tamu di warung kopi jaranguda kami bergegas untuk mengisi
jerigan yang kami bawa dengan air di samping warung kopi tersebut, karna
disepanjang rute ini tidak akan ada lagi dijumpai sumber mata air. “ isi di
sini aja jerigen kalian itu, diatas gak ada lagi mata air, kalau kalian belik
air diatas harganya mahal” tutur Barus yang lagi duduk di pos tersebut.
Setelah
selesai mengisi jerigan kami merapikan materas dan perlengkapan lainya yang
kami bawa agar tidak menggangu natinya saat perjalaanan, karna kami akan
melewati jalan yang terus menajakak untk sampai di tempat penitipan sepeda
motor yang kami kendarai.
Melewati
rute ini, jalanya sebenarnya sudah diaspal, tapi sepanjang perjalaan badan
jalan banyak yang rusak sehingga menyulitkan kami untuk mengendarai sepeda
motor metik yang kami naiki, alhasil tak jarang kami harus menyorong sepeda
motor tersebut untuk melewati jalan aspal berbatu yang menanjak. Sebenarnya
rute ini adalah jalan aspal membelah hutan yang masih asri, dikanan dan kiri
sepenjang jalan ini kita kan diseduhkan dengan pemandangan hutan tropis yang
masih terjaga.
Pepohonan
yang berdiameter besar menjulang tinggi kelangit, humus yang masil tebal menandakan
hutan ini masih asri. Di sepanjang perjalanan kami juga dimanjakan dengan suara
burung dan seranggga hutan lainya yang berbunyi seakan saling bersaut-sautan.
Sekitar
30 menit memacu sepeda motor kami di dalam hutan tropis tersebut, ahirnya
sampai di penghujung jalan aspal, medanya menjadi sedikit berubah, jalan yang
berbatuan diameternya lebih besar dari sebelumnya. Sebagian jalan menyempit
akibat longsoran tebing, pohon-pohon yang berdiameter sedang juga tambak
membentang di antara jalan karna tumbang akibat longsor. Tapi beruntunglah
pohon-pohon tersebut sudah di rapikan sehingga tidak terlalu menggangu pengguna
jalan.
Tak
jauh dari jalan menyempit itu, sekitar 100 m tibalah kami di Warung yang
ditutupi terpal berwarna biru tempat menitipkan sepeda motor, warung tersebut
terdapat di bawah bikit kapur. Disekitar warung tersebut terdapat area datar
yang cukup menampung puluhan penenda.
“
Bawak air minum secupnya diatas gak ada lagi mata air yang air bisa di minum,
ada mata air di atas tapi airnya asam” tutur Bolang nama sapaan kakek
empunya warung tenda biru tersebut.
Dari
warung tersebut kami berjalan selama kurang lebih satu jam untuk menaklukkan
satu persatu anak tangga yang sudah di cor beton.
Anak-anak
tangga beton tersebut kondisinya sangat memperhatinkan, banyak anak tangga
rusak dan genangan air yang membentuk kubangan di sekeliling anak tangga yang
sudah rusak, membuat kaki tidak kuat saat berpijak diatas tanah ditambahlagi
beban yang kami bawak terasa berat karna perbekalan makanan untuk dua malam
tiga hari. Matahari yang terik menghantam kulit, keringat bercucuran membasahi
pakaian yang kami pakai. Hal ini membuat perjalaanan agak sedikit lambat.
Sesekali
kami tanggalkan ketanah ceril yang kami bawah, sekedar menarik nafas panjang
untuk mengusir lelah dan panas yang sedari tadi tidak mau pergi. Setelah berjalan
kurang lebih 50 menit menaklukkan satu persatu anak tangga yang sudah lapuk
dihantam air hujan, kami sampai di jalan yang agak merata.
Dari
sana suara gemuruh uap belerang yang keluar dari celah-celah batu terdengar
keras, seperti suara pesawat terbang yang sedang mendarat. Bau belerang yang
menyengat mulai tercium, batu cadas yang berdiameter sangat besar berserakan
tidak tersusun rapi sejauh mata kami memandang seakaan menyambut kehadiran kami
di puncak sibayak.
Suara gemuruh keluar dari perut sibayak
Kalau
dari tadi kanan dan kiri sepanjang jalan
di tumbuhi semak belukar setelah sampai di dikat suara gemuruh tersebut tidak
ada lagi tampak tumbuhan semak yang hidup, yang ada hanya asap belerang yang
keluar dari celah batu cadas.
Kawah gunung sibayak
Kawah gunung sibayak
Setelah
berkeliling di puncak sibayak kami putuskan untuk mendirikan tenda karna hari
sudah semakin gelap dan kabut mulai turun menutupi puncak sibayak, matahari yang
sedari tadi sangat terik tak tampak lagi bersembunyi diantara awan.
Kami
mencari tempat yang pas untuk mendirikan tenda, karna pada hari itu angin di
puncak sangat kencang jadi kami putuskan untuk mendirikan tenda di antara
semak-semak agar tidak terlalu dingin dan angin tidak langsung menghantam tenda.
Ahirnya
kami pun mendirikan tenda untuk
tempat beristirahat, hari itu kami sangat beruntung karna disamping tenda kami,
teman-teman dari siantar juga mendirikan tendanya sehingga suasana malam itu
terasa ramai. Setelah selesai makan malam kami putuskan untuk langsung beristirahat
karna besok pagi rencana kami untuk menikmati matahari terbit di upuk timur dari
puncak tapal kuda.
Udara
malam itu terasa menusuk tulang sumsum karna angin yang berhembus sedikit
kencang dan di tutupi kabut yang lembab membawa butiran-bitiran air. Baju
panas, kaos tangan, kaos kaki dan sal yang menutup leher serta selimut yang
kami bawa tidak dapat mengusir dinginya malam itu.
Sesekali
kami terbangun karna dingin dan suara kaki pendaki lain yang lewat di samping
tenda kami, tak terasa jarum jam menunjukkan jam 06.00 Wib menandakan hari
sudah pagi, setelah berperang dengan dinginya udara puncak sibayak, kami pun beranjak menelusuri jalan setapak
untuk mencapai puncak tapal kuda.
Setelah
kurang 15 menit berjalan dari tenda, menaklukkan jalan yang curam dan jurang
yang menganga lebar yang setiap saat mengintai kami, ahirnya kami sampai di
puncak tapal kuda. Dari tapal kuda tersebut kita dapat menikmati pemandangan
yang luar biasa, menyaksikan lampu-lampu desa yang berada di bawah gunung
sibayak dan lampu-lampu kota Medan yang tampak seperti kepingan berlian yang
berkilau berserakan.
Embun pagi mulai bergerak berlahaan
Matahari
mulai melihatkan fajarnya di upuk timur, warna merah kekuning-kuningan mulai
tampak di balik embun pagi. Berlahan tapi pasti matahari mulai tampak terang,
embun pagi yang menutupi hutan di bawah gunung berlahan bergerak menyambut sang
fajar itu.
Sang fajar mulai terlihat di upuk timur
Tak
henti-hentinya kami berdecap kagum dan tidak mau terlepas sedetikpun
menyaksikan sang fajar menerangi bumi. Sambil memegang kamera kami mengabadikan
keindahan ciptaan Tuhan tersebut. Dari tempat kami berdiri tampak gunung
sinabung berdiri kokoh di sebelah barat, asap hitam mengepul tak henti-hentinya
keluar dari puncak gunung yang terus erupsi tersebut.
Puncak Gunung Sinabung Tampak dari Sibayak
Jam
menunjukkan jam 09.00WIB matahari sudah tampak bersinar menghantam kulit kami,
kami putuskan untuk turun dari tapal kuda, semakin pagi pendaki gunung sibayak
tampak semakin ramai, tidak hanya wisatawan lokal wisatawan mancanegara juga
dengan semangat menaklukkan gunung berapi tersebut, sambil memegang kamera bulek-bulek tersebut mengabadikan
keindahan sibayak.
Kami
kembali menelusuri jalan bebatuan untuk sampai ke tenda. Setelah sampai di
tenda kami pun sibuk mempersiapkan makanan untuk sarapan pagi itu. Kami membagi
tugas ada yang mencari kayu bakar dan memasak dan ada yang membersihkan tenda.
Batu cadas yang menjulang tinggi dan hamparan pemandangan alam yang indah
Indomi
rebus dan segelas teh manis hangat menemai sarapan kami pagi itu, walupun cuma
di seduh air hangat mie instan tersebut terasa nikmat sambil menikmati
pemandangan alam yang luar biasa terpampang di depan tenda kami.
Hari Kedua dipuncak Sibayak
Cuaca
yang sangat cerah dan bersahabat memantapkan niat kami untuk ngekem satu malam
lagi di puncak sibayak. Kami pun
mindahkan tenda kami dari tempat pertama ke tepat di bawah puncak tapal kuda.
Di tempat ngkem kami yang hari kedua ini tampak sangat berbeda dengan yang
pertama karna kami diapit oleh dua puncak batu cadas yang enjulang tinggi dan
tepat di depan kami kawah sibayak yang berukuran sangat besar.
Tenda tempat beristirahat pas di bawak puncak tapal kuda
Setelah
mendirikan tenda kami putuskan untuk mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan
bekas sampah yang ngkem sebelumnya. Setelah mengumpulkan sampah tersebut karna
kami tidak membawa pelastik besar atau goni tempat sampah, sehingga tidak bisa
kami bawa turun ke bawah, maka ahirnya sampah yang kami kumpulkan kami bakar.
Terkadang
kami tertawa saat mengumpulkan sampah tersebut karna dia antara sampah-sampah
tersebut ada juga botol air mineral yang di isi dengan air kencing. Awalnya
kami pikir minyak tanah tahu-tahunya lain, tidak Cuma itu saja, kantong
pelastik yang kami kumpulkan tak jarang berisi kotoran manusia. Kami kadang
tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah pendaki yang
melakukan hal tersebut.
“
ada-ada aja ya yang membuat kotoranya di dalam pelastik, tu ada lagi celana
dalam di ujung sana aku lihat ” tutur Nelly yang merupakan satu tim kami sambil
tertawa.
Aktifitas
malam kedua di puncak sibayak tidak banyak kami lakukan hanya membuat api
unggun sebari menikmati angin malam sambil melihat bintang-bintang yang tampak
berkedip di langit.
Besok
paginya setelah menelusuri puncak yang ada di samping puncak tapal kuda dan
menikmati sebari mendokumentasikan pemandangan yang ada kami putuskan untuk
kembali ke tenda dan bersiap untuk kembali ke medan.
Pemandangan di atas puncak sibayak
Sampah dan Tangan Jahil Pendaki
Keindahaan
di puncak gunung sibayak sedikit berkurang karna sampah-sampah bekas makanan
dan minuman yang di bawa pendaki berserakan di mana-mana, tak hanya itu
tangan-tangan jahil pengunjung yang tidak bertanggung jawap juga
menyoret-nyoret batu-batu yang ada di puncak. Sekedar menuliskan namanya atau
nama kampus atau kelompokya di batu. Coret-coret tersebut sebagian menggunakan
sepidol, tipe-x atau pun pilok.
Kepingan-kepingan
botol minuman kaca tampak berserakan di antara bebatuan. Sehingga setiap saat
dapat membahayakan pendaki.
Tampak
memang pengelola tidak mempedulikan keindahan alam ciptaan Tuhan tersebut,
padahal setiap pengunjung dikenakan retribusi setiap ingin mendaki gunung
sibayak, seolah-olah gunung tersebut hanya dijadikan mesin pencetak uang. Dalam
hal ini dinas pariwisata Kabupaten Karo seharusnya membuat aturan yang ketat
bagi pendaki dan dibarengi dengan adanya pengonterolan bagi aturan tersebut.
Misalnya
saja setiap orang yang mendaki di cek apa-apa saja yang dibawanya ke puncak
sibayak. Kalau ada makanan ataupun minuman, sampah-sampahnya harus dibawa lagi
kebawah dengan cara di cek lagi kembali. Bagi yang meninggalkan sampahnya di
kenakan denda. Kalau hal ini di buat oleh pengelola dengan sosialisasi yang
serius kepada setiap pengunjung maka keindahan alam gunung sibayak akan tetap
terjaga dan tidak akan tercemar oleh manusia.