About

Minggu, 25 Januari 2015

"TANJAKAN CINTA" PUSUK BUHIT SAMOSIR



Banyak cerita didalamya, tingginya 1.800 mdpl, dia disakralkan bagi sebagian banyak orang Batak, menurut cerita dari puncak tingginya lah muasal nenek moyang orang Batak ribuan tahun silam. Pusuk Buhit begitu orang Batak menyebutnya, berdiri tegak dan paling tinggi diantara bukit yang mengelilingi Danau Toba. Jeruk purut, Sirih dan Telur Ayam Kampung merupakan wajib di bawa bagi orang berjarah ke puncaknya. Bau mistis akan terasa bagi orang yang mendakinya.    

Sore itu sedikit gerimis, hujan yang tak mau berhenti membuat kami sedikit gelisah, sesekali kami mengamati cuaca di luar sana berharap hujan akan berhenti. Bus yang kami naiki juga tak mau berhenti, supir sepertinya tak mau kalah dengan bus yang ada di depanya, sedari tadi mereka saling kejar-kejaran tanpa peduli pengguna jalan yang lain dan kami yang duduk di dalam.  Perut kami sedikit di goyang-goyang ketika memasuki kelok-kelok jalan memasuki hutan lindung aek pondom. Supir bus yang kami tumpangi seakan hapal setiap tikungan yang kami lewati, tanpa ada rasa ragu ataupun takut si supir tetap menancap gas. Padahal disebelah kiri jalan yang kami lewati jurang menganga lebar, sedikit saja pak supir salah perkiraan langsung terjun kedalam jurang.

Hujan yang deras dan di tambah kabut yang tebal membuat dinginya menusuk sampai ke tulang sumsum, sesekali kami menggosokkan kedua tangan untuk mengusir dingin. Tak henti-henti teman saya melihat jam tangan di tangan kananya, sambil menerawang cuaca di luar yang tak berubah. Tetesan kabut yang melengket di kaca bus membuat pandangan kami dari dalam bus sangat terganggu. Tak terasa  empat jam sudah kami duduk manis di dalam bus, membuat rasa bosan yang mulai menguasai kami.

Hujan mulai reda, yang tampak hanya  kabut yang menutupi hutan dan perladangan warga, memasuki daerah Kab. Dairi kami mengamati penduduk yang mulai sibuk di kebun-kebunya. Pemandangan perladangan kopi dan kelok-kelok baris tanaman cabai, tomat dan kol terpampang di setiap ladang warga yang kami lewati.

Memasuki perbatasan Kab. Dairi dengan Kab. Samosir tampak gapura yang tak terurus dengan tulisan selamat datang di Kab. Samosir. Saya pun menyiku teman yang duduk persis di samping kana  saya sambil berkata “ ei bangun dah sampai kita di Kab. Samosir” teman saya langsung bangun dan mengatur duduknya. Di kanan dan kiri tampak hutan yang sudah di garap warga sebagai lahan pertania.

Tidak berapa lama kami akhirnya sampai di Tele, dari sini kami agak sedikit cemas karna jalan yang akan di lalui bus yang kami tumpangi akan menurun serta berkelok-kelok  dan jika salah perkiraan bisa langsung terjun ke dalam jurang atau menaberak tebing baju cadas yang berada di sebelah kiri jalan. Dilain sisi kami juga merasa takjub melihat pemandangan Danau Toba, tampak tak ada yang menggangu pandangan kami. Air Danau yang tampak biru dan pemandangan jalan yang berkelok-kelok menjadi salah satu pemandangan yang tak wajib dilewatkan dan nikmati bagi siapa saja yang ke Danau Toba melalui Tele.

Sebenarnya Hari itu kami berencana untuk mendaki salah satu bukit tertinggi di Kab. Samosir, bagi orang Batak nama bukit itu tidak terlalu asing. “Pusuk Buhit” begitu orang menyebutnya, yang berarti bukit yang paling tinggi. Kami memutuskan untuk mendakinya melalui desa Sianjur Mula-mula. Desa ini tepat berada di bawah kaki Bukit Pusuk Buhit. Gunung setinggi 1.800 mdpl ini, sangat disakralkan, karena dianggap sebagai muasal nenek moyang orang Batak ribuan tahun silam.

Informasi yang kami dapat dari beberap media Batak dan cerita dari penduduk desa Limbong dan Sianjur mula-mula bahwa di gunung inilah pertama kali, Deak Parujar, yang menurut keyakinan tradisi merupakan dewi penciptaan orang Batak, memulai menciptakan kehidupan. Ia menurunkan generasi selanjutnya yakni Si Raja Batak. Si Raja Batak inilah yang kemudian dianggap generasi awal dimulainya peradaban modern masyarakat Batak. Makanya gunung ini sangat di sakkeralkan bagi orang Batak. Informasi inilah membuat kami merasa penasaran untuk mendaki gunung ini dan beberapa dari kami merupakan orang Batak yang berasa dari Pulau Samosir.

Sekitar pukul lima sore kami sampai di Desa Limbong, dari sini kami melanjutkan untuk berjalan kaki menuju Desa Sianjur mula-mula. Sekitar lima belas menit berjalan kaki akhirnya kami tiba di SMA Negeri sianjur Mula-mula. Kami memutuskan untuk berhenti di warung yang berada di sebelah kanan gerbang sekolah itu. Seberi menunggu teman yang belum sampai kerna terkena hujan sebap mereka mengendarai Sepeda Motor.
                         Desa Sianjur Mula-mula, berada di bawah kaki Pusuk Buhit

Matahari mulai terbenam, angin pun berhempus kencang, udara dingin mulai datang, jeket tebal yang kami pakai seakan taksanggup mengusir rasa dingin sore itu, salah satu teman kami berinisiatif membuat api unggun sebebari menunggu.

Pukul delapan malam teman-teman yang sedari tadi kami tunggu akhirnya tiba, tanpa banyak basa-basi kami langsung berangkat. Sebelum menapaki jalan menuju Pusuk Buhit kami singgah di Kampung Siraja Batak, disana kami putuskan untuk mengecek semua perlengkapan dan logistik yang kami perlukan. Setelah selesai kami pun membuat lingkaran kecil dan Berdoa agar perjalanan pendakian kami malam hari itu berjalan dengan baik.
                                                 Jalan ke Desa Siraja Batak

Setapak demi setapak mulai kami langkahkan kaki ini, suara angin yang berhempus terdengar ketika bersentuhan dengan dedaunan cemara membuat sedikit hening pendakian kami malam itu. Suara jangkerik dan serangga malam yang saling bersaut-sautan sepertinya tak mau pergi menemani langkah kami. Trek yang kami lewati terus menanjak karna kami tidak mengikuti jalan yang mobil biasanya lewati. Kami lebih memilih membelah hutan perdu yang tinggi dan melewati kebun-kebun warga yang berada di badan gunung. Karna kalau melewati jalan  wisata biasanya waktu yang dibutuhkan lebih lama karna jalannya berkeliling mengitari bukit.
                             Beristirahat sejenak sebari mengumpulkan tenaga dan stamina

Keringat sepertinya tak mau berhenti menetes dari wajah kami, gerah dan panas  tak mau pergi dari tubuh ini, padahal angin cukup kencang malam itu. Langkah kami yang sedari tadi cepat mulai pelan-pelan karna tenaga dan setamina kami mulai berkurang, maklumlah karna malam itu kami belum makan, padahal jam sudah menunjukkan jam sepuluh malam. Akhirnya di samping gubuk warga yang kebunya kami lewati, kami putuskan untuk berhenti sebari memasak mie instan untuk mengisi perut kami yang kosong.

Setelah selesai makan, kami langsung melanjutkan perjalan kami, makin keatas berjalan angin semakin kencang, rasa panas dan gerah yang sedari tadi menyelimuti tubuh kami berlahan pergi di hantam embusan angin malam Pusuk Buhit.
                                        Memasak mie untuk mengganjal perut yang kosong

Semakin berjalan ke atas treknya semakin menanjak, curam dan licin, untuk melaluinya kita harus saling menarik atau bergandeng tangan agar tidak terjatuh. Dibutuhan kerjasama yang baik bagi para pendaki untuk melalui trek yang memotong jalan ini. Tanjakan Cinta begitu Salah satu teman kami yang bernama Galau sebutannya memberi nama tanjakan itu. Teman kami bernama Keriting lantas bertanya “ kenapa tanjakan Cinta Bang”?. “Nah kalau kita jalan melalui tanjakan itu sama cewek pedekate kita pansti romantis dan langsung jadiaan ting, kerna harus bergandeng tangan meneriknya ting, romantiskan?” tutur galau sambil tertawa.

Terkadang di atas batu yang kami lewati tampak beberapa buah jeruk purut dan sirih. Semakin berjalan ketas aura mistis semakin kami rasakan. Tapi kami menanggapi semua dengan berpikir positif.
   Jeruk Purut diletakkan para pejarah diatas batu-batu di pinggir jalan menuju puncak Pusuk Buhit

Batu-batu kecil yang berserakan di jalan sedikit menyusahkan langkah ini. Ternyata semakin ke atas batu-batu kecil tersebut semakin banyak karna terbawa air hujan. Kami sedikit tercengang karna bukit yang curam yang kami daki sedari tadi ternyata di atasnya ada tanah datar yang lumayan luas dan di tumbuhi tanaman perdu yang hijau. Di tanah datar tersebut terdapat landasan pendaratan Helikopter. Ahirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di samping landasan heli tersebut. Setelah selesai mendirikan tenda tanpa ada komando kami pun langsung merebahkan badan kami untuk beristirahat.
                                          Tempat melepas lelah setelah berjalan mendaki

Malam itu angin berhembus kencang dan hujan gerimis membuat udara di dalam tenda terasa dingin, mata kami seakan tak bisa dipejamkan, sesekali kami mengatur posisi tidur dan menarik sarung untuk mengusir dingin malam itu. Suara serangga malam mambuat malam itu semakin hening, yang terdengar hanya suara angin yang berhembus dan tetesan air hujan yang jatuh dari atas tenda kami.

Pagi mulai datang, tapi rasa dingin semakin kuat terasa sampai ke tulang sumsum. Semua badan kami terasa bergetar menahankan dinginya udara pagi Pusuk Buhit. Embun pagi terlihat menutupi puncak Pusuk Buhit pagi itu, sehingga jarak pandang mata kami hanya berkisar sepuluh meter saja.

Berlahan-lahan mulai lagi kami langkahkan kaki ini berjalan menuju puncak tertinggi di Pusuk Buhit. Jaraknya sekitar tigapuluh menit berjalan kaki. Terek yang dilewati menuju puncak sedikit curam serta menanjak sehingga sangat menguras tenaga. Di kanan dan kiri jalan terlihat semakin banyak jeruk purut dan sirih yang di letakkan di atas batu hal ini memang banyak ditemui di atas gunung ini.

                       Puncak tertinggi Pusuk Buhit, tempat berdoa bagi para pejarah

Ahirnya kami sampai juga di puncak tertinggi pusuh buhit, di atas terdapat bangunan berbentuk segitiga dan di setiap sudut dan ditengahnya di letakkan mangkuk berwarna putih yang berisi air dan jeruk purut. Di samping mangkuk itu terdapat lembaran-lembaran daun sirih dan buah jeruk purut. Kata teman kami arti segitiga itu adalah Dalihan Na Tolu (Bahasa Batak Toba) yang merupakan falsafah utama orang Batak. Di sebelah kiri bangunan itu terdapat dua tiang yang diatasnya berkibar dua bendera dengan warna yang sama yaitu merah, putih dan hitam yang merupakan warna dasar orang Batak. Bau mistis dipuncak Pusuk Buhit ini memang sangat terasa sekali, hampir di setiap sudut terdapat jeruk purut, sirih dan juga rokok yang di selipkan di sebatang kayu.

  Sirih, jeruk Purut merupakan persembahan yang biasanya di bawa oleh pejarah ke puncak Pusuk Buhit

Setelah kami permisi (Marsentabi/bahasa batak) kami pun berjalan-jalan di atas puncak itu. Bukit-bukit yang sedari tadi tertutup oleh embun pagi mulai tampak jelas karna embun mulai berpindah karna  tertiup angin. Terlihat secara keseluruhan pulau samosir dan Danau Toba. Kilauan air danau ketika terkena cahaya matahari memang menjadi pemandangan yang luar biasa dan di tambah lagi lekukan-lekukan bukit-bukit yang menglilingi Danau vulkanik itu membuat kami seakan lupa mengedipkan mata. Tak henti-hentinya teman saya mengabadikan pemandangan yang indah itu dengan kameranya, sesekali dia berteriak “ I Love You Pusuk Buhit “ mengexperesikan kegembiraanya.
Kilauan air Danau Toba saat terkena cahaya matahari tampak indah dari puncak Pusuk                                                                        Buhit

Salah satu teman kami yang bernama Ucox begitu panggilanya mengajak kami berjalan menuju kesebelah timur puncak. Dari sana ternyata pemandanganya tak kalah indahnya dari yang sebelumnya. Wisata pasir putih Pulau Samosir tampak lebih indah dari atas bukit. Saya langsung mengambil kamera ponsel dan mengabadikanya sambil berdecap kagum. Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan indah dan geratis itu kami putuskan untuk kembali turun ke tenda untuk mempersiapkan sarapan.


                                




                                    Pemandangan yang luar biasa dari atas Pusuk Buhit

Mulai lagi kami pacu tenaga ini menuruni batu-batu yang berserakan, di pertengahan jalan  kami berjumpa dengan dua pemuda yang mau  ke atas puncak. Ditangan kirinya ada beberapa butir telur ayam kampung, sirih dan juga jeruk purut. Saat kami tanya ternyata mereka berasal dari Jakarta yang khusus datang untuk berjarah ke Pusuk Buhit. Tanpa banyak bertanya kami pun langsung melanjutkan perjalanan kami.

Menu yang ingin di masak pagi itu adalah ikan asin goreng ditambah dengan makanan kas para pendaki yaitu mie instan. Tanpa banyak komando kami mengambil tugas masing-masing. Maklumlah cacing-cacing di dalam perut ini sepertinya sedang berkor karna laparnya. Teman yang biasanya garang/seram pagi itu terlihat sedikit kemayu saat mengupas bawah dan cabai yang kami bawa, membuat kami terkadang tertawa melihatnya.
Aroma ikan asin goreng membut perut ini semakin lapar ditambah lagi aroma khas indome rebus membuat sesekali kami menelan air ludah menahankan laparnya. Setelah semua masak kami pun menhabiskan santapan sarapan pagi itu selera makan kami cukup besar pagi itu karna sarapan sambil menikmati indahnya pemandangan.
                             Momen yang paling berkesan  saat memasak bersama-sama

Teklama setelah selesai sarapan, terdengar aungan suara mesin mobil dari balik bukit. Berlahan-lahan tampak beberapa orang berada diatas mobil gerdang dua yang berwarna hitam itu. Ternyata yang diatas adalah beberapa pejarah yang datang dari Kota Medan. Kata salah satu teman kami, memang pada saat libur banyak orang-orang yang berasal dari luar kota berjarah dan berdoa keatas bukit itu. Ada yang datang bersama keluarga ataupun berombongan jelas teman kami itu.
                           Pejarah yang sedang berdoa dengan duduk diatas batu besar

Setelah selesai sarapan kami mulai membongkar tenda dan membereskan semua barang-barang yang kami bawa karna pagi itu kami berencana turun kebawah dan melanjutkan perjalanan ke wisata Pasir Putih. Rencananya kami akan menghabiskan satu malam lagi mendirikan tenda di sana.
   Saat matahari mulai menampakkan diri dari balik embun pagi, seekor ayam tampak         sibuk mencari makan tepat di bawah batu yang biasanya tempat berdoa bagi pejarah

Kaki yang pegal dan berat membuat langkah kami sedikit pelan menuruni jalan yang berbelok-belok itu. Rasa capek dan pegal semua terbayar dengan pemandangan yang indah yang kami nikmati di atas Pusuk Buhit. 
                         Kembali membelah hutan perdu dan menelusuri batu-batu

Oleh-oleh yang kami bawa berupa foto-foto keindahan pemandangan Danau Toba, eloknya bukit-bukit yang mengliling Pusuh Buhit dan momen-momen kebersamaan kami menjadi cerita tersendiri yang takkan bisa terlupakan. Kami berharap akan datang kembali menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang tak ternilai harganya ini dan menaklukkan kembali tanjakan-tanjakan dan hutan perdu yang menutupi Pusuh Buhit.