About

Minggu, 10 Agustus 2014

MENTARI PAGI DI PUNCAK SIBAYAK

                                                                      

Tak terasa hari libur yang dinanti-nanti tiba, di penghujung bulan Juli tepatnya pada tanggal 25 Juli 2014 kami memutuskan untuk mengisi liburan dengan mendaki salah satu gunung berapi yang masih aktif di dataraan tinggi Karo. Dua malam di puncak sibayak menjadi pengalaman yang tidak mudah untuk di lupakan. saat kabut pagi menyapa, gemuruh kawah gunung yang membangunkan saat malam, embun pagi yang menutupi hutan dan bergeraak pelan saat sang fajar menunjukkan diri di upuk timur sebari menyapa kami, menjadikan pendakian ke gunung sibayak ini menjadi lengkap dan terbayar lunas. 

Keberangkatan kami mulai dari kota Medan, setelah dari semalam sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk mendaki kami mulai mengecek kembali satu-persatu perelatan dan kebutuhan yang akan kami bawa. Rencananya kami akan menghabiskan waktu selama tiga hari dua malam di puncak Sibayak.
      
Siang itu sekitar pukul 12.00Wib. Matahari tampak lebih cerah dari hari-hari sebelumnya di Kota Medan, sinar matahari yang menyengat kulit dan embusan udara siang yang sedikit panas mengawali langkah kami. Perjalan kami hari itu dengan menggunakan sepeda motor agar lebih peraktis dan bisa menikmati perjalanan dengan santai.
      
Memasuki daerah Pancurbatu lalu-lintas tampak longgar tidak seperti hari-hari biasanya yang macat karna aktifitas Pasar yang memakan badan jalan dan kendaraan yang lewat biasanya didominasi oleh mobil-mobil teruk sehingga petugas dinas perhubungan dan polisi disana kewalahan mengatur lalu lintas sehingga menyebabkan kemacetan panjang.

Setelah satu jam perjalanaan, memasuki daerah tekongan amoy perut kami mulai dikocok-kocok dengan tikungan amoy yang saling berdekatan, tetapi kami sangat menikmatinya. Memasuki daerah ini udara yang segar dan pemandangan hutan yang indah dan asri menyambut kedatangan kami, bukit barisan yang tersusun saliang sambung menyambung dan keindahan hutan yang masih asri terhampar sejauh mata memandang.

Pendakian kami kali ini dari desa jaranguda atau biasanya disebut dengan jalur wisata. Sebenarnya untuk mencapi puncak sibayak ada tiga jalur pendakian yang bisa digunakan yaitu Rute pertama bisa dilalui dari kaki Gunung Sibayak di Desa Raja Berneh atau sering disebut sebagai Desa Semangat Gunung. Desa ini berjarak 15 km dari Berastagi. Jalur ini melewati pemandian air panas sidebuk-debuk di kaki gunung sibayak. Di desa ini juga terdapat Badan Usaha Milik Negara yaitu P.T. Pertamina yang memanfaatkan sumber panas bumi yang keluar dari gunung siabayak untuk menjadi pembangkit listerik. Pembangkit listrik ini merupakan PLTP pertama yang ada di pulau Sumater.

Jalur kedua dapat ditempuh dari kaki Gunung Sibayak dari Desa Jaranguda. Desa ini sangat dekat dari kota Berastagi yakni hanya berjarak 3 km. Bagi pendaki atau wisatawan lebih banyak memilih jalur ini. Rute ini biasanya disebut juga dengan jalur Wisata.

Jalur ketiga yang terkenal cukup ekstrim adalah jalur 54 yang ditempuh dari kawasan Penatapan atau bakaran jagung yang terletak di jalan raya Medan-Berastagi. Jalur ini berada di KM 54 dari Medan menuju Berastagi. Jalur ini merupakan rute terpanjang dan tergolong ekstrim karna melewati hutan teropis dan tebing-tebing curam. Bagi pemula tidak disarankan untuk mendaki lewat jalur ini.

Setelah membayar retribusi sebesar Rp 4.000/orang dan mengisi buku tamu di warung  kopi jaranguda kami bergegas untuk mengisi jerigan yang kami bawa dengan air di samping warung kopi tersebut, karna disepanjang rute ini tidak akan ada lagi dijumpai sumber mata air. “ isi di sini aja jerigen kalian itu, diatas gak ada lagi mata air, kalau kalian belik air diatas harganya mahal” tutur Barus yang lagi duduk di pos tersebut.

Setelah selesai mengisi jerigan kami merapikan materas dan perlengkapan lainya yang kami bawa agar tidak menggangu natinya saat perjalaanan, karna kami akan melewati jalan yang terus menajakak untk sampai di tempat penitipan sepeda motor yang kami kendarai.

Melewati rute ini, jalanya sebenarnya sudah diaspal, tapi sepanjang perjalaan badan jalan banyak yang rusak sehingga menyulitkan kami untuk mengendarai sepeda motor metik yang kami naiki, alhasil tak jarang kami harus menyorong sepeda motor tersebut untuk melewati jalan aspal berbatu yang menanjak. Sebenarnya rute ini adalah jalan aspal membelah hutan yang masih asri, dikanan dan kiri sepenjang jalan ini kita kan diseduhkan dengan pemandangan hutan tropis yang masih terjaga.

Pepohonan yang berdiameter besar menjulang tinggi kelangit, humus yang masil tebal menandakan hutan ini masih asri. Di sepanjang perjalanan kami juga dimanjakan dengan suara burung dan seranggga hutan lainya yang berbunyi seakan saling bersaut-sautan.

Sekitar 30 menit memacu sepeda motor kami di dalam hutan tropis tersebut, ahirnya sampai di penghujung jalan aspal, medanya menjadi sedikit berubah, jalan yang berbatuan diameternya lebih besar dari sebelumnya. Sebagian jalan menyempit akibat longsoran tebing, pohon-pohon yang berdiameter sedang juga tambak membentang di antara jalan karna tumbang akibat longsor. Tapi beruntunglah pohon-pohon tersebut sudah di rapikan sehingga tidak terlalu menggangu pengguna jalan.

Tak jauh dari jalan menyempit itu, sekitar 100 m tibalah kami di Warung yang ditutupi terpal berwarna biru tempat menitipkan sepeda motor, warung tersebut terdapat di bawah bikit kapur. Disekitar warung tersebut terdapat area datar yang cukup menampung puluhan penenda.

“ Bawak air minum secupnya diatas gak ada lagi mata air yang air bisa di minum, ada mata air di atas tapi airnya asam” tutur Bolang  nama sapaan kakek empunya warung tenda biru tersebut.
Dari warung tersebut kami berjalan selama kurang lebih satu jam untuk menaklukkan satu persatu anak tangga yang sudah di cor beton.

Anak-anak tangga beton tersebut kondisinya sangat memperhatinkan, banyak anak tangga rusak dan genangan air yang membentuk kubangan di sekeliling anak tangga yang sudah rusak, membuat kaki tidak kuat saat berpijak diatas tanah ditambahlagi beban yang kami bawak terasa berat karna perbekalan makanan untuk dua malam tiga hari. Matahari yang terik menghantam kulit, keringat bercucuran membasahi pakaian yang kami pakai. Hal ini membuat perjalaanan agak sedikit lambat.

Sesekali kami tanggalkan ketanah ceril yang kami bawah, sekedar menarik nafas panjang untuk mengusir lelah dan panas yang sedari tadi tidak mau pergi. Setelah berjalan kurang lebih 50 menit menaklukkan satu persatu anak tangga yang sudah lapuk dihantam air hujan, kami sampai di jalan yang agak merata.

Dari sana suara gemuruh uap belerang yang keluar dari celah-celah batu terdengar keras, seperti suara pesawat terbang yang sedang mendarat. Bau belerang yang menyengat mulai tercium, batu cadas yang berdiameter sangat besar berserakan tidak tersusun rapi sejauh mata kami memandang seakaan menyambut kehadiran kami di puncak sibayak.
Suara gemuruh keluar dari perut sibayak

Kalau dari tadi kanan dan kiri  sepanjang jalan di tumbuhi semak belukar setelah sampai di dikat suara gemuruh tersebut tidak ada lagi tampak tumbuhan semak yang hidup, yang ada hanya asap belerang yang keluar dari celah batu cadas.
                                                                  Kawah gunung sibayak
Setelah berkeliling di puncak sibayak kami putuskan untuk mendirikan tenda karna hari sudah semakin gelap dan kabut mulai turun menutupi puncak sibayak, matahari yang sedari tadi sangat terik tak tampak lagi bersembunyi diantara awan.

Kami mencari tempat yang pas untuk mendirikan tenda, karna pada hari itu angin di puncak sangat kencang jadi kami putuskan untuk mendirikan tenda di antara semak-semak agar tidak terlalu dingin dan angin tidak langsung menghantam tenda.

Ahirnya kami pun mendirikan tenda untuk tempat beristirahat, hari itu kami sangat beruntung karna disamping tenda kami, teman-teman dari siantar juga mendirikan tendanya sehingga suasana malam itu terasa ramai. Setelah selesai makan malam kami putuskan untuk langsung beristirahat karna besok pagi rencana kami untuk menikmati matahari terbit di upuk timur dari puncak tapal kuda.

Udara malam itu terasa menusuk tulang sumsum karna angin yang berhembus sedikit kencang dan di tutupi kabut yang lembab membawa butiran-bitiran air. Baju panas, kaos tangan, kaos kaki dan sal yang menutup leher serta selimut yang kami bawa tidak dapat mengusir dinginya malam itu.

Sesekali kami terbangun karna dingin dan suara kaki pendaki lain yang lewat di samping tenda kami, tak terasa jarum jam menunjukkan jam 06.00 Wib menandakan hari sudah pagi, setelah berperang dengan dinginya udara puncak sibayak, kami pun beranjak menelusuri jalan setapak untuk mencapai puncak tapal kuda.

Setelah kurang 15 menit berjalan dari tenda, menaklukkan jalan yang curam dan jurang yang menganga lebar yang setiap saat mengintai kami, ahirnya kami sampai di puncak tapal kuda. Dari tapal kuda tersebut kita dapat menikmati pemandangan yang luar biasa, menyaksikan lampu-lampu desa yang berada di bawah gunung sibayak dan lampu-lampu kota Medan yang tampak seperti kepingan berlian yang berkilau berserakan.
 Embun pagi mulai bergerak berlahaan 
Matahari mulai melihatkan fajarnya di upuk timur, warna merah kekuning-kuningan mulai tampak di balik embun pagi. Berlahan tapi pasti matahari mulai tampak terang, embun pagi yang menutupi hutan di bawah gunung berlahan bergerak menyambut sang fajar itu.

Sang fajar mulai terlihat di upuk timur
Tak henti-hentinya kami berdecap kagum dan tidak mau terlepas sedetikpun menyaksikan sang fajar menerangi bumi. Sambil memegang kamera kami mengabadikan keindahan ciptaan Tuhan tersebut. Dari tempat kami berdiri tampak gunung sinabung berdiri kokoh di sebelah barat, asap hitam mengepul tak henti-hentinya keluar dari puncak gunung yang terus erupsi tersebut.

  Puncak Gunung Sinabung Tampak dari Sibayak
Jam menunjukkan jam 09.00WIB matahari sudah tampak bersinar menghantam kulit kami, kami putuskan untuk turun dari tapal kuda, semakin pagi pendaki gunung sibayak tampak semakin ramai, tidak hanya wisatawan lokal wisatawan mancanegara juga dengan semangat menaklukkan gunung berapi tersebut, sambil memegang kamera bulek-bulek tersebut mengabadikan keindahan sibayak.

Kami kembali menelusuri jalan bebatuan untuk sampai ke tenda. Setelah sampai di tenda kami pun sibuk mempersiapkan makanan untuk sarapan pagi itu. Kami membagi tugas ada yang mencari kayu bakar dan memasak dan ada yang membersihkan tenda.

Batu cadas yang menjulang tinggi dan hamparan pemandangan alam yang indah
Indomi rebus dan segelas teh manis hangat menemai sarapan kami pagi itu, walupun cuma di seduh air hangat mie instan tersebut terasa nikmat sambil menikmati pemandangan alam yang luar biasa terpampang di depan tenda kami.

Hari Kedua dipuncak Sibayak
Cuaca yang sangat cerah dan bersahabat memantapkan niat kami untuk ngekem satu malam lagi di puncak sibayak. Kami pun mindahkan tenda kami dari tempat pertama ke tepat di bawah puncak tapal kuda. Di tempat ngkem kami yang hari kedua ini tampak sangat berbeda dengan yang pertama karna kami diapit oleh dua puncak batu cadas yang enjulang tinggi dan tepat di depan kami kawah sibayak yang berukuran sangat besar.
Tenda tempat beristirahat pas di bawak puncak tapal kuda
Setelah mendirikan tenda kami putuskan untuk mengumpulkan sampah-sampah yang berserakan bekas sampah yang ngkem sebelumnya. Setelah mengumpulkan sampah tersebut karna kami tidak membawa pelastik besar atau goni tempat sampah, sehingga tidak bisa kami bawa turun ke bawah, maka ahirnya sampah yang kami kumpulkan kami bakar.

Terkadang kami tertawa saat mengumpulkan sampah tersebut karna dia antara sampah-sampah tersebut ada juga botol air mineral yang di isi dengan air kencing. Awalnya kami pikir minyak tanah tahu-tahunya lain, tidak Cuma itu saja, kantong pelastik yang kami kumpulkan tak jarang berisi kotoran manusia. Kami kadang tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah pendaki yang melakukan hal tersebut.
“ ada-ada aja ya yang membuat kotoranya di dalam pelastik, tu ada lagi celana dalam di ujung sana aku lihat ” tutur Nelly yang merupakan satu tim kami sambil tertawa.

Aktifitas malam kedua di puncak sibayak tidak banyak kami lakukan hanya membuat api unggun sebari menikmati angin malam sambil melihat bintang-bintang yang tampak berkedip di langit.
Besok paginya setelah menelusuri puncak yang ada di samping puncak tapal kuda dan menikmati sebari mendokumentasikan pemandangan yang ada kami putuskan untuk kembali ke tenda dan bersiap untuk kembali ke medan.
Pemandangan di atas puncak sibayak 
 
Bau belerang yang menyengat keluar diantara bebatuan
Sampah dan Tangan Jahil Pendaki
Keindahaan di puncak gunung sibayak sedikit berkurang karna sampah-sampah bekas makanan dan minuman yang di bawa pendaki berserakan di mana-mana, tak hanya itu tangan-tangan jahil pengunjung yang tidak bertanggung jawap juga menyoret-nyoret batu-batu yang ada di puncak. Sekedar menuliskan namanya atau nama kampus atau kelompokya di batu. Coret-coret tersebut sebagian menggunakan sepidol, tipe-x atau pun pilok.

Kepingan-kepingan botol minuman kaca tampak berserakan di antara bebatuan. Sehingga setiap saat dapat membahayakan pendaki.

Tampak memang pengelola tidak mempedulikan keindahan alam ciptaan Tuhan tersebut, padahal setiap pengunjung dikenakan retribusi setiap ingin mendaki gunung sibayak, seolah-olah gunung tersebut hanya dijadikan mesin pencetak uang. Dalam hal ini dinas pariwisata Kabupaten Karo seharusnya membuat aturan yang ketat bagi pendaki dan dibarengi dengan adanya pengonterolan bagi aturan tersebut.

Misalnya saja setiap orang yang mendaki di cek apa-apa saja yang dibawanya ke puncak sibayak. Kalau ada makanan ataupun minuman, sampah-sampahnya harus dibawa lagi kebawah dengan cara di cek lagi kembali. Bagi yang meninggalkan sampahnya di kenakan denda. Kalau hal ini di buat oleh pengelola dengan sosialisasi yang serius kepada setiap pengunjung maka keindahan alam gunung sibayak akan tetap terjaga dan tidak akan tercemar oleh manusia.