Setelah
beberapa hari berdiam dirumah saja, duduk manis di depan TV sebari memegang
remot konterol untuk mengganti cenel TV dan sesekali mengintip dari jendela keluar
rumah, hujan yang sedari semalam belum juga berhenti. Mulai dari sineteron
cengeng, berita gosip murahan dan debat kusir serta berita pelecehan seksual yang
akhir-akhir ini menjadi bahan pembicaraan publik, habis kami lahap bersama adik
saya. Sesekali kami berdepat ringan membahasnya sambil terkadang tertawa
bersama. Hal ini kami lakukan bukan tidak ada sebab, semuanya karna kota
Kabanje yang merupakan tempat kelahiran saya beberapa hari ini di guyur hujan,
matahari yang biasanya terbit setiap pagi di upuk timur tidak berani
menampakkan dirinya, yang terdengar hanya percikan air hujan yang jatuh
mengenai atap rumah. Padahal sebelumnya kami sudah mengagendakan untuk
berkunjung ke salah satu wisata alam air terjun sipiso-piso yang berada di Desa
Tonggi Kecamatan Merek Kabupaten Karo.
Pagi itu Senin 12 Mei, cuaca
tidak terlalu panas dan terlalu dingin di kota Kabanjahe, tampak beberapa tetangga
sibuk mempersiapkan perlengkapan untuk beraktifitas pada pagi hari. Kota kabanjahe
pagi itu sedikit cerah setelah beberapa hari diguyur hujan yang tak kunjung
henti. Di sudut sebelah kanan rumah kami, seorang lelaki paruh baya sibuk
mengasah parang dan cangkolnya, sesekali dia mengisap rokok keretek yang dia
letakkan di sebelah kananya, lelaki berwajah agak keriput dan memakai topi itu
tampak bersemangat untuk berangkat ke kebunnya pagi itu. Gunung Sinabung yang
beberapa saat lalau menjadi pemberitaan media karna letusanya tampak terlihat
jelas puncakknya dari depan rumah kami setelah diterpa matahari pagi.
Hari itu saya ditemani
adik saya yang baru datang dari Kota Pekan Baru yang berkunjung ke Kabanjahe
untuk liburan. Pagi itu kami sepakat untuk melakukan perjalaan menuju salah
satu wisata alam yang ada di tanah tanak kelahiran saya Kabupaten Karo. Wisata
yang kami tuju yaitu air terjun sipiso-piso dan danau toba yang berada di desa
Tongging Kecamatan Merek Kabupaten Karo. Setelah mempersipakan semua keperluam,
maka kami beranjak meninggalkan kota Kabanjahe dengan menggunakan sepeda motor.
Sepanjang perjalaan
terlihat kesibukan warga karo yang berada di perladangannya, yang ada di kanan
dan kiri jalan, sebagian tampak membersihkan ladangnya dan sebagaian ada yang
memanen hasil tanamanya. Perlanan kami pun
di suguhi dengan pemandangan indah perladangan penduduk, tanaman kol, tomat,
jagung dan tanaman wargra lainya tampak berbaris rapi di kebun warga. Udara
segar dataran tinggi karo membuat perjalan kami semakin sempurna.
Sesekali kami
mengurangi laju sepeda motor yang kami naiki, untuk sejenak melihat pemandangan
perkebunan penduduk yang hijau dan aneka ragam tanaman warga, selain itu tampak
jeruk yang merupakan hasil buah handalan Tanah Karo berwarna hijau kekuning-kuningan,
bertanda jeruk tersebut sudah masak dan dapat di panen. Sepanjang perjalanaan
kita akan mendapati Sebagian penduduk yang memiliki kebun jeruk di pinggir
jalan, menawarkan sensasi buah jeruk
segar dengan petik sendiri bagi wisatawan.
Memasuki daerah merek
tak henti-henti adik saya yang baru pertama kali ke daerah tersebut kagum
dengan pemandangan kelok-kelok bukit barisan yang mengelilingi Desa Merek. Firman
nama panggilan adik saya itu tercengang melihat keindahan alam tanah turang, “
mantap, kalau tahu kekgini
pemandanganya sudah dari dulu aku kesini bang” tuturrnya berdecap kagum dengan
pemandangan indah yang terhampar sepanjang jalan menuju air terjun sipiso-piso.
Memasuki desa merek
kami disambut dengan udara yang semakin dingin seperti menusuk tulang sumsum dan
hutan pohon ekaliptus yang menjulang tinggi kelangit biru. Memasuki daerah ini
kami memutuskan untuk membeli nasi untuk nanti di santap di air terjun sebari
menikmati indahnya pemandangan sipiso-piso.
Seteh melewati desa
merek firman tampak semakin bertambah kagum melihat pemandangan danau toba yang
berwarna biru dari penatapan merek. Setelah sampai di gapura pengutipan maka
kami membayar ritribusi sebesar Rp 4.000,00/orang. Setelah sebelumnya kami
kagum dengan pemandangan yang indah sepanjang perjalanan menuju air terjun,
sejenak kami emosi melihat petugas yang mengutip retribusi ke objek wisata
tersebut. Sebab setelah kami membayar tidak di berikan karcih masuk dengan
menyuruh kami lewat saja.
Benar apa kata sahabat
saya beberapa saat yang lalu, kalau petugas di sana banyak yang melakukan tugas
dengan tidak profesional, kerena sepengetahuan saya berapa karcis yang dibayar
maka segitulah besarnya uang yang harus di setorkan Kedinas Pariwisata. Tapi nyatanya di lapangan
banyak petugas yang tidak memberikan karcis kepada pengunjung maka uang
tersebut masuk kedalam kantongnya. Beberapa saat setelah
sedikit bercecok mulut dengan petugas maka kami pun memutuskan meninggalkan
petugas yang memakai baju berwarna hijau dan lengkap dengan atribut-atribut
PNSnya itu.
Sekitar seratus meter
dari gapura , maka sampailah kami di penatapan tongging. Dari gardu pandang penatapan
tersebut tampak pemandangan air terjun Sipiso-piso yang jatuh membelah
tebing-tebing batu cadas yang berada di kanan dan di sisi kiri air terjun.
Menoleh ke kanan maka kita akan di sajikan pemandangan desa tongging dan danau
toba yang indah. Setelah puas memadangi air terjun dari kejauhan, maka kami
memutuskan untuk menuruni anak tangga menuju ke air terjun. Satu demi satu anak
tangga kami turuni. Menurut salah seorang pejual makanan di sana, bahwa anak
tangga yang terdapat dijalan menuju air terjun lebih kurang jumlahnya sebanyak
700 anak tangga.
Medan yang agak curam dan
jalan yang sempit tidak menyurutkan niat kami untuk menyaksikan indahnya air
terjun dari kedekatan. Sesekali kami berhenti sambil melihat indahnya air
terjun dari kejauhan. Dengan berhati-hati kami melewati rute menuju air terjun,
karna di sebalah kiri jurang menganga lebar. Di tengah perjalanan menuju air
terjun jalan semakin sempit, sebagaian jalan ada yang longsor akibat hujan,
selain itu tangga yang curam juga membuat kaki terasa bergetar menahan beban
berat badan kami. Tak jarang banyak wisatawan yang hanya sampai di tengah
perjalanan saja dan tak sanggung untuk melanjutkan perjalaan menuju air terjun.
Setelah sekitar tiga puluh
menit kami berjalan mengalahkan tangga-tangga yang terjal dan curam, akhirnya
kami sampai di air terjun. Suara gemuruh air yang jatuh dari tebing yang tinggi
dan percikan-percikan air terjun yang mengenai wajah kami terasa sangat dingin
dan mendamaikan hati. Lelah menuruni anak tangga terbayar sudah dengan panorama
indahnya air terjuan.
Seorang lelaki paruh
baya yang memakai kos yang berwarna agak kusam tampak marah-marah sambil
membereskan gubuk tempat jualanya, yang diacak-acak pengunjung. Sambil sibuk
membereskan gubuk dan barang dagangannya sekali-sekali dia memarahi pasangan
dua sejoli yang lagi mengganti baju di kamar mandi darurat yang ada di samping gubuk
lelaki paruh baya itu.
Ternayata lelaki paruh
baya tersebut bermarga Saragi yang merupakan salah satu penduduk desa Paropo
yang berjualan di air terjun, Saragi sudah sekitar satu tahun berjualan
sendiri dan tinggal digubuknya yang
berada disekitar air terjun. “ baru sebentar saja ku tinggal ini, udah
berserakan kek gini, pasti kalian yang acak-acak gubukku ini kan? Tanya saragi
kepada pasangan dua sejoli yang lagi membereskan barang-barangnya.
Setelah saragi selesai
memberseskan jualanya sebari duduk sambil mengisap rokok, dia berpesan kepada
kami tentang pantangan kalau berada di air terjun, “kalau di sini jangan cakap
kotor kalian terus kalau bawak cewek jangan melakukan hal-hal yang tidak
senonoh di air terjun ini, kalau kalian langgar itu selesai lah kalian, kalau
mau mandi gak apa-panya” terangnya kepada kami.
Menurut Saragih, banyak wisatawan baik yang dari
dalam negeri maupun luar negeri datang menikmati pemandangan air terjun dari
kedekatan, turis-turis bulek yang
datang biasanya tidak belama-lama di bawah sini sekedar mendokumentasikan saja
dan langsung naik lagi ke atas.
Satu kata buat air
terjun Sipiso-piso “ Dasyat” tutur firman sebari mendokumentasikan indahnya air
terjun dengan kamera polselnya. “ gak ada pula sinyal di sini bang, kalau ada
biar ku unggah langsung ke FB ni bang, bair angek
teman-temanku di Pekan Baru,” tuturnya sambil terkagum-kagum.
Firman tidak mau menunggu
lama-lama untuk menikmati dasyatnya air terjun dari kedekatan. Dia memutuskan
untuk mengganti pakaianya dan menitipkanya kepada warung Saragi, sedangkan saya
hanya tersenyum melihat tingkahnya. Dia bergegas menikmati air terjun lebih
dekat, sebelum sampai firman sudah diguyur percikan air terjun sehingga seluruh
badanya basah.
Air terjun Sipiso-piso
ini terletak di sebelah utara Danau Toba, sekitar 24 kilometer dari kota
Kabanjahe. Air terjun ini merupakan yang tertinggi di Indonesia, dengan ketinggian
120 meter. Dari informasi yang kami dapat air terjun Sipiso-piso tersebut berada
di sekitar 800 meter di atas permukaan air laut. Air terjun itu deras mengalir
ke bawah tampak memotong bukit-bukit hijau yang ditumbuhi pohon pinus.
Nama Sipiso-piso sendiri berasal dari kata piso
(dalam bahasa karo) yang artinya pisau.
Derasnya air yang membelah bukit yang berketinggian di atas seratus meter ini
diibaratlkan layaknya pisau yang tajam
yang membelah tebing curam yang berada di sisi kanan dan sisi kiri air terjun.
Setalah puas menikmati
keindahan air terjun dan berendam sejenak di aliran air, maka kami memutuskan
kembali naik keatas, tantangan sudah menunggu di depan mata kami, mendaki satu
persatu anak tangga terasa berat sekali setelah tenaga dan setamina kami
terkuras habis saat bermain air. Kalau turun kebawah kami hanya membutuhkan
waktu tiga puluh menit saja, pada saat
keatas kami membutuhkan waktu satu jam lebih. Tapi dengan semangat kami memacu
langkah kaki kami untuk menaklukkan satu-persatu anak tangga.