Banyak cerita didalamya, tingginya 1.800 mdpl, dia disakralkan bagi
sebagian banyak orang Batak, menurut cerita dari puncak tingginya lah muasal
nenek moyang orang Batak ribuan tahun silam. Pusuk Buhit begitu orang Batak menyebutnya,
berdiri tegak dan paling tinggi diantara bukit yang mengelilingi Danau Toba.
Jeruk purut, Sirih dan Telur Ayam Kampung merupakan wajib di bawa bagi orang
berjarah ke puncaknya. Bau mistis akan terasa bagi orang yang mendakinya.
Sore itu sedikit gerimis, hujan yang tak mau
berhenti membuat kami sedikit gelisah, sesekali kami mengamati cuaca di luar sana berharap hujan akan berhenti.
Bus yang kami naiki juga tak mau berhenti, supir sepertinya tak mau kalah
dengan bus yang ada di depanya, sedari tadi mereka saling kejar-kejaran tanpa
peduli pengguna jalan yang lain dan kami yang duduk di dalam. Perut kami
sedikit di goyang-goyang ketika memasuki kelok-kelok jalan memasuki hutan lindung aek pondom. Supir bus yang kami
tumpangi seakan hapal setiap tikungan yang kami lewati, tanpa ada rasa ragu
ataupun takut si supir tetap menancap gas. Padahal disebelah kiri jalan yang
kami lewati jurang menganga lebar, sedikit saja pak supir salah perkiraan
langsung terjun kedalam jurang.
Hujan yang deras dan di tambah kabut yang tebal membuat dinginya menusuk sampai ke
tulang sumsum, sesekali kami menggosokkan kedua tangan untuk mengusir dingin. Tak henti-henti
teman saya melihat jam tangan di
tangan kananya, sambil menerawang cuaca di luar yang tak berubah. Tetesan kabut yang melengket di kaca bus membuat pandangan
kami dari dalam bus sangat terganggu. Tak terasa empat jam sudah kami
duduk manis di dalam bus, membuat
rasa bosan yang mulai menguasai
kami.
Hujan mulai reda, yang tampak hanya kabut yang menutupi hutan dan perladangan warga, memasuki daerah Kab. Dairi kami mengamati penduduk yang mulai sibuk di
kebun-kebunya. Pemandangan perladangan kopi dan kelok-kelok baris tanaman
cabai, tomat dan kol terpampang di setiap ladang warga yang kami lewati.
Memasuki perbatasan Kab. Dairi dengan Kab. Samosir
tampak gapura yang tak terurus
dengan tulisan selamat datang di
Kab. Samosir. Saya pun menyiku teman yang duduk persis di samping kana
saya sambil berkata “ ei bangun dah sampai kita di Kab. Samosir” teman saya langsung bangun dan mengatur
duduknya. Di kanan dan kiri tampak hutan yang sudah di garap warga sebagai lahan pertania.
Tidak berapa lama kami akhirnya sampai di Tele, dari sini kami agak sedikit cemas karna
jalan yang akan di lalui bus yang kami tumpangi akan menurun serta berkelok-kelok dan jika
salah perkiraan bisa langsung terjun ke dalam jurang atau menaberak tebing baju cadas yang berada di sebelah kiri
jalan. Dilain sisi kami juga merasa takjub melihat
pemandangan Danau Toba, tampak
tak ada yang menggangu pandangan kami. Air Danau yang tampak biru dan pemandangan jalan yang
berkelok-kelok menjadi salah satu pemandangan yang tak wajib dilewatkan
dan nikmati bagi siapa saja yang ke Danau Toba melalui Tele.
Sebenarnya Hari itu kami berencana untuk mendaki
salah satu bukit tertinggi di Kab. Samosir, bagi orang Batak
nama bukit itu tidak terlalu asing. “Pusuk Buhit” begitu orang menyebutnya,
yang berarti bukit yang paling tinggi. Kami memutuskan untuk mendakinya melalui desa
Sianjur Mula-mula. Desa ini tepat berada di bawah kaki Bukit Pusuk Buhit. Gunung
setinggi 1.800 mdpl ini, sangat disakralkan, karena dianggap sebagai muasal
nenek moyang orang Batak ribuan tahun silam.
Informasi yang kami dapat dari
beberap media Batak dan cerita dari penduduk desa Limbong dan Sianjur mula-mula
bahwa di gunung inilah pertama kali, Deak Parujar,
yang menurut keyakinan tradisi merupakan dewi penciptaan orang Batak, memulai
menciptakan kehidupan. Ia menurunkan generasi selanjutnya yakni Si Raja Batak.
Si Raja Batak inilah yang kemudian dianggap generasi awal dimulainya peradaban
modern masyarakat Batak. Makanya gunung ini sangat di sakkeralkan bagi
orang Batak. Informasi inilah membuat kami merasa penasaran untuk mendaki
gunung ini dan beberapa dari kami merupakan orang Batak yang berasa dari Pulau
Samosir.
Sekitar pukul lima sore kami sampai di Desa Limbong, dari sini kami melanjutkan untuk berjalan
kaki menuju Desa Sianjur
mula-mula. Sekitar lima belas menit berjalan kaki akhirnya
kami tiba di SMA Negeri sianjur Mula-mula. Kami memutuskan untuk berhenti di warung yang berada di sebelah kanan
gerbang sekolah itu. Seberi menunggu teman yang belum sampai kerna terkena hujan
sebap mereka mengendarai Sepeda Motor.
Desa Sianjur Mula-mula, berada di bawah kaki Pusuk Buhit
Matahari mulai terbenam, angin pun berhempus kencang, udara dingin mulai datang,
jeket tebal yang kami pakai seakan taksanggup
mengusir rasa dingin sore itu, salah satu teman kami berinisiatif membuat api unggun sebebari menunggu.
Pukul delapan malam teman-teman yang sedari tadi
kami tunggu akhirnya tiba, tanpa banyak basa-basi kami langsung berangkat. Sebelum menapaki jalan menuju Pusuk Buhit
kami singgah di Kampung Siraja Batak, disana kami putuskan untuk mengecek semua perlengkapan dan logistik yang kami perlukan. Setelah selesai kami pun membuat lingkaran kecil dan Berdoa agar perjalanan pendakian kami malam hari
itu berjalan dengan baik.
Jalan ke Desa Siraja Batak
Setapak demi setapak mulai kami langkahkan kaki ini, suara angin yang berhempus terdengar ketika bersentuhan dengan dedaunan cemara membuat sedikit hening pendakian kami
malam itu. Suara jangkerik dan serangga malam yang saling bersaut-sautan sepertinya tak mau pergi menemani langkah
kami. Trek yang kami lewati terus menanjak karna kami tidak mengikuti jalan
yang mobil biasanya lewati. Kami lebih memilih membelah hutan perdu yang tinggi
dan melewati kebun-kebun warga yang berada di badan gunung. Karna kalau
melewati jalan wisata biasanya waktu
yang dibutuhkan lebih lama karna jalannya berkeliling mengitari bukit.
Beristirahat sejenak sebari mengumpulkan tenaga dan stamina
Keringat sepertinya tak mau berhenti menetes dari wajah kami, gerah dan panas tak mau pergi dari tubuh ini, padahal angin cukup kencang malam itu. Langkah kami yang sedari tadi cepat mulai pelan-pelan karna tenaga dan setamina kami mulai berkurang,
maklumlah karna malam itu kami belum makan, padahal jam sudah
menunjukkan jam sepuluh malam. Akhirnya di samping gubuk warga yang kebunya kami
lewati, kami putuskan untuk berhenti sebari memasak mie instan untuk mengisi perut kami yang kosong.
Setelah selesai makan, kami langsung melanjutkan
perjalan kami, makin keatas
berjalan angin semakin kencang, rasa panas dan gerah yang sedari tadi
menyelimuti tubuh kami berlahan
pergi di hantam embusan angin malam Pusuk Buhit.
Memasak mie untuk mengganjal perut yang kosong
Semakin berjalan ke atas
treknya semakin menanjak, curam dan licin, untuk melaluinya kita harus saling
menarik atau bergandeng tangan agar tidak terjatuh. Dibutuhan kerjasama yang
baik bagi para pendaki untuk melalui trek yang memotong jalan ini. Tanjakan
Cinta begitu Salah satu teman kami yang bernama Galau sebutannya memberi nama
tanjakan itu. Teman kami bernama Keriting lantas bertanya “ kenapa tanjakan
Cinta Bang”?. “Nah kalau kita jalan melalui tanjakan itu sama cewek pedekate
kita pansti romantis dan langsung jadiaan ting, kerna harus bergandeng tangan meneriknya
ting, romantiskan?” tutur galau sambil tertawa.
Terkadang di atas batu yang kami lewati tampak
beberapa buah jeruk purut dan sirih.
Semakin berjalan ketas aura mistis semakin kami rasakan. Tapi kami menanggapi
semua dengan berpikir positif.
Jeruk Purut diletakkan para pejarah diatas batu-batu di pinggir jalan menuju puncak Pusuk Buhit
Batu-batu kecil yang berserakan di jalan sedikit menyusahkan langkah ini. Ternyata semakin ke atas batu-batu kecil
tersebut semakin banyak karna terbawa air hujan. Kami sedikit tercengang karna
bukit yang curam yang kami daki sedari tadi ternyata di atasnya ada tanah datar yang lumayan luas dan di tumbuhi
tanaman perdu yang hijau. Di tanah datar tersebut terdapat landasan pendaratan
Helikopter. Ahirnya kami memutuskan untuk mendirikan tenda di samping landasan heli tersebut. Setelah selesai mendirikan tenda
tanpa ada komando kami pun langsung
merebahkan badan kami untuk beristirahat.
Tempat melepas lelah setelah berjalan mendaki
Malam itu angin berhembus
kencang dan hujan gerimis membuat udara di dalam tenda terasa dingin, mata kami
seakan tak bisa dipejamkan, sesekali kami mengatur posisi tidur dan menarik
sarung untuk mengusir dingin malam itu. Suara serangga malam mambuat malam itu
semakin hening, yang terdengar hanya suara angin yang berhembus dan tetesan air
hujan yang jatuh dari atas tenda kami.
Pagi mulai datang, tapi rasa
dingin semakin kuat terasa sampai ke tulang sumsum. Semua badan kami terasa
bergetar menahankan dinginya udara pagi Pusuk Buhit. Embun pagi terlihat
menutupi puncak Pusuk Buhit pagi itu, sehingga jarak pandang mata kami hanya
berkisar sepuluh meter saja.
Berlahan-lahan mulai lagi
kami langkahkan kaki ini berjalan menuju puncak tertinggi di Pusuk Buhit.
Jaraknya sekitar tigapuluh menit berjalan kaki. Terek yang dilewati menuju
puncak sedikit curam serta menanjak sehingga sangat menguras tenaga. Di kanan
dan kiri jalan terlihat semakin banyak jeruk purut dan sirih yang di letakkan
di atas batu hal ini memang banyak ditemui di atas gunung ini.
Puncak tertinggi Pusuk Buhit, tempat berdoa bagi para pejarah
Ahirnya kami sampai juga di
puncak tertinggi pusuh buhit, di atas terdapat bangunan berbentuk segitiga dan
di setiap sudut dan ditengahnya di letakkan mangkuk berwarna putih yang berisi
air dan jeruk purut. Di samping mangkuk itu terdapat lembaran-lembaran daun
sirih dan buah jeruk purut. Kata teman kami arti segitiga itu adalah Dalihan Na Tolu (Bahasa Batak Toba) yang merupakan falsafah utama orang Batak. Di sebelah
kiri bangunan itu terdapat dua tiang yang diatasnya berkibar dua bendera dengan
warna yang sama yaitu merah, putih dan hitam yang merupakan warna dasar orang
Batak. Bau mistis dipuncak Pusuk Buhit ini memang sangat terasa sekali, hampir
di setiap sudut terdapat jeruk purut, sirih dan juga rokok yang di selipkan di
sebatang kayu.
Sirih, jeruk Purut merupakan persembahan yang biasanya di bawa oleh pejarah ke puncak Pusuk Buhit
Setelah kami permisi
(Marsentabi/bahasa batak) kami pun
berjalan-jalan di atas puncak itu. Bukit-bukit yang sedari tadi tertutup oleh
embun pagi mulai tampak jelas karna embun mulai berpindah karna tertiup angin.
Terlihat secara keseluruhan pulau samosir dan Danau Toba. Kilauan air danau
ketika terkena cahaya matahari memang menjadi pemandangan yang luar biasa dan
di tambah lagi lekukan-lekukan bukit-bukit yang menglilingi Danau vulkanik itu
membuat kami seakan lupa mengedipkan mata. Tak henti-hentinya teman saya
mengabadikan pemandangan yang indah itu dengan kameranya, sesekali dia
berteriak “ I Love You Pusuk Buhit “ mengexperesikan kegembiraanya.
Kilauan air Danau Toba saat terkena cahaya matahari tampak indah dari puncak Pusuk Buhit
Salah satu teman kami yang
bernama Ucox begitu panggilanya mengajak kami berjalan menuju kesebelah timur
puncak. Dari sana ternyata pemandanganya tak kalah indahnya dari yang
sebelumnya. Wisata pasir putih Pulau Samosir tampak lebih indah dari atas
bukit. Saya langsung mengambil kamera ponsel dan mengabadikanya sambil berdecap
kagum. Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan indah dan geratis itu
kami putuskan untuk kembali turun ke tenda untuk mempersiapkan sarapan.
Pemandangan yang luar biasa dari atas Pusuk Buhit
Mulai lagi kami pacu tenaga ini menuruni batu-batu yang berserakan, di pertengahan jalan kami berjumpa dengan dua pemuda yang mau
ke atas puncak. Ditangan kirinya ada beberapa butir telur ayam kampung,
sirih dan juga jeruk purut. Saat kami tanya ternyata mereka berasal dari
Jakarta yang khusus datang untuk berjarah ke Pusuk Buhit. Tanpa banyak bertanya
kami pun langsung melanjutkan
perjalanan kami.
Menu yang ingin di masak
pagi itu adalah ikan asin goreng ditambah dengan makanan kas para pendaki yaitu
mie instan. Tanpa banyak komando kami mengambil tugas masing-masing. Maklumlah
cacing-cacing di dalam perut ini sepertinya sedang berkor karna laparnya. Teman
yang biasanya garang/seram pagi itu terlihat sedikit kemayu saat mengupas bawah dan cabai yang kami bawa, membuat kami
terkadang tertawa melihatnya.
Aroma ikan asin goreng
membut perut ini semakin lapar ditambah lagi aroma khas indome rebus membuat
sesekali kami menelan air ludah menahankan laparnya. Setelah semua masak kami pun menhabiskan santapan sarapan pagi
itu selera makan kami cukup besar pagi itu karna sarapan sambil menikmati indahnya
pemandangan.
Momen yang paling berkesan saat memasak bersama-sama
Teklama setelah selesai
sarapan, terdengar aungan suara mesin mobil dari balik bukit. Berlahan-lahan
tampak beberapa orang berada diatas mobil gerdang dua yang berwarna hitam itu.
Ternyata yang diatas adalah beberapa pejarah yang datang dari Kota Medan. Kata
salah satu teman kami, memang pada saat libur banyak orang-orang yang berasal
dari luar kota berjarah dan berdoa keatas bukit itu. Ada yang datang bersama
keluarga ataupun berombongan jelas teman kami itu.
Pejarah yang sedang berdoa dengan duduk diatas batu besar
Setelah selesai sarapan kami
mulai membongkar tenda dan membereskan semua barang-barang yang kami bawa karna
pagi itu kami berencana turun kebawah dan melanjutkan perjalanan ke wisata
Pasir Putih. Rencananya kami akan menghabiskan satu malam lagi mendirikan tenda
di sana.
Saat matahari mulai menampakkan diri dari balik embun pagi, seekor ayam tampak sibuk mencari makan tepat di bawah batu yang biasanya tempat berdoa bagi pejarah
Kaki yang pegal dan berat
membuat langkah kami sedikit pelan menuruni jalan yang berbelok-belok itu. Rasa
capek dan pegal semua terbayar dengan pemandangan yang indah yang kami nikmati
di atas Pusuk Buhit.
Kembali membelah hutan perdu dan menelusuri batu-batu
Oleh-oleh yang kami bawa berupa foto-foto keindahan
pemandangan Danau Toba, eloknya bukit-bukit yang mengliling Pusuh Buhit dan
momen-momen kebersamaan kami menjadi cerita tersendiri yang takkan bisa terlupakan.
Kami berharap akan datang kembali menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang tak
ternilai harganya ini dan menaklukkan kembali tanjakan-tanjakan dan hutan perdu
yang menutupi Pusuh Buhit.